Posted by: alimtiaz | June 19, 2012

SEDIKIT CERITA TENTANG “HAFALAN SHALAT DELISA”

Kemarin aku baru saja menonton film “Hafalan Shalat Delisa” yang disutradarai oleh Sony Gaokasak. Film yang diputar pertama kali pada akhir tahun 2011 ini mengambil cerita dari sebuah novel karya Tere Liye yang berjudul “Hafalan Shalat Delisa”. Sebuah trend yang tengah marak di dunia perfilman Indonesia, filmisasi novel. Sebelumnya sudah ada beberapa novel best seller yang difilmkan seperti Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Laskar Pelangi, Sang Pencerah, dan lain-lain. Secara umum, cerita yang disampaikan dalam bentuk film tidak jauh berbeda dengan yang tertulis di dalam novel. Namun berdasarkan beberapa komentar temanku, dan juga aku tentunya, tetap saja membaca novel lebih menarik dibandingkan dengan menonton film. Salah satu alasannya adalah karena jika membaca novel kita dapat lebih menghayati dan bahkan mendalami karakter-karakter yang ada di dalamnya. Tapi barangkali ini lebih kepada selera sih. Yang suka menonton, tentu punya pendapat sebaliknya. Tidak ada penilaian untuk selera.

Film ini menceritakan tentang seorang anak kecil, Delisa (5/6 tahun), yang kehilangan hampir seluruh keluarga, kecuali Abi, dan teman-temannya sepermainan karena gelombang tsunami. Peristiwa yang sungguh menyakitkan dan menyedihkan. Hal ini terinspirasi dari peristiwa tsunami yang terjadi di Aceh, dan beberapa daerah lain, pada tahun 2004 yang telah merenggut ratusan ribu jiwa orang. Rumah Delisa terletak di pinggiran pantai Lhoknga, sebuah daerah yang berada di Aceh Besar yang cukup parah terkena gelombang tsunami. Delisa bersama Abi dan umminya serta kakak-kakaknya (Aisyah, Zahra, dan Fatimah) hidup dalam kebahagian, keharmonian, religiusitas yang tinggi, dan agamis. Bagaimana yang tua menyayangi yang muda. Bagaimana yang muda menghormati yang tua. Bagaimana orang tua bersikap adil kepada anak-anaknya. Film ini menggambarkan itu semua. Nilai-nilai agama juga ditanamkan sejak dini kepada anak-anak. Dan Delisa yang ketika itu masih berumur 5/6 tahun, anak bungsu, sudah diajarkan bacaaan shalat. Dan ia tengah berusaha menghafalnya agar lancar sehingga tidak menjadi bahan “olokan” kakaknya, Aisyah. (Delisa dan kakaknya, Aisyah, memang sering bercanda berlebihan). Ia ingin bisa.

Dalam pada itu, beberapa hari lagi Delisa juga akan mengikuti ujian hafalan bacaan shalat di sekolah. Sehingga mau tidak mau ia harus bisa. Keadaan ini mendesaknya untuk lebih serius menghafal bacaan shalat. Tidak terlalu sulit baginya karena sehari-hari ia beserta kawan-kawan yang lainnya diajar oleh seorang ustaz yang sudah sering membimbing dan mengarahkannya. Pada suatu hari Delisa bertanya kepada ustaz bagaimana caranya agar cepat hafal dan tidak lupa-lupa lagi. Sang ustaz lalu menjawab dengan sederhana, “Delisa harus fokus dan khusyu’. Khusu’ itu dilakukan sepenuh hati karena Allah. Tidak mengharapkan hadiah. Tidak mengharapkan sepeda. Tidak mengharapkan kalung”. Delisa mengangguk dan kemudian menyalami ustaznya lalu pulang ke rumah. Namun, sepertinya Delisa belum menyadari betul apa yang dimaksud ustaz. Ia masih menghafal bacaan shalat untuk mendapatkan hadiah berupa kalung dan sepeda yang telah dijanjikan abi dan uminya. Ia selalu saja mengingat janji yang telah didengarnya itu.

Singkat cerita, tibalah hari ujian hafalan bacaan al-Qur’an. Pagi-pagi Delisa sudah disuruh siap-siap, mandi dan sarapan. Ia akan pergi ditemani oleh uminya. Kebetulan pada saat itu abi Delisa tengah mendapat tugas dan tidak berada di rumah. Setelah siap semua, Delisa dan uminya keluar rumah dan berpamitan kepada anak-anak yang lainnya. Tetapi ketika baru saja hendak melangkahkan kaki, terasa guncangan yang sangat kencang menggoyang bumi. Rumah terlihat bergoyang-goyang karena berbentuk panggung (rumah yang ditopang oleh kayu dan dinaiki menggunakan tangga). Benda-benda di dalam rumah berjatuhan dan pecah. Anak-anak panik. Tidak bisa berdiri seimbang. Mereka memanggil… umi… umi…. Umi… Berlari ke dalam pelukan umi. Mereka takut dengan keadaan yang tidak biasa tersebut. Tetapi kemudian umi dapat menenangkan anak-anaknya. Perlahan-lahan getaran pun berkurang hingga akhirnya tidak terasa lagi. Keadaan sudah mulai stabil. Setelah itu, baru lah Delisa dan Uminya pergi ke sekolah untuk mengikuti ujian. Awalnya Delisa keberatan meninggalkan kakaknya di rumah, tetapi kemudian ia diyakinkan oleh uminya dan juga kakaknya bahwa keadaan sudah membaik. Dan kemudian pergi lah mereka.

Sesampainya di sekolah, gurunya sudah siap untuk menguji. Teman-temannya pun sudah berada di ruangan. Delisa pun ikut bergabung dengan mereka. Setelah Tiur, sahabat karib Delisa, selesai,  giliran Delisa yang maju. Dari luar ruangan umi menyemangati Delisa sambil menunjukkan kalung yang bertuliskan “D”. Umi menggoyang-goyangkan kalung itu. Delisa melihat dan tersenyum. Seakan menyakinkan umi bahwa ia pasti mendapatkannya. Ia maju dengan mantap dan penuh keyakinan. Aku pasti bisa. Ketika baru saja ia memulai hafalan bacaan shalat, terdengar suara gemuruh yang begitu keras. Dari kejauhan tampak air berwarna hitam pekat datang sangat cepat. Rumah-rumah yang dilewatinya rata dengan tanah. Belum sempat Delisa menyelesaikan bacaannya, air sudah menerjang mereka. Umi dari tadi berteriak memanggil Delisa, tetapi ia tidak mendengar. Ia tetap khusyu’ pada bacaan shalat. Orang-orang berlarian menghindari air, sedang Delisa tetap pada hafalannya. Berdiri tegap layaknya seseorang yang tengah menunaikan shalat. Penuh kekhusyu’an, sampai-sampai tidak mendengar suara apapun. Dan ketika itu pun, ditengah ketegapan Delisa, air menerjang tubuhnya. Ia terhempas terombang-ambing di dalam air laut yang menyapu semua bangunan di tepi pantai. Dan Delisa belum usai menghafal bacaan shalatnya

Di tengah keterombang-ambingan, Delisa kemudian teringat kepada keluarganya, Umi dan kakaknya. Ia teringat kepada teman-temannya, Tiur dan lain-lain. Semuanya muncul dalam alam bawah sadar Delisa. Tampak ia dan mereka bercakap-cakap silih berganti. Percakapan itu berisi tentang ucapan selamat tinggal, selamat berpisah. Umi berpesan kepada Delisa agar ia tetap menyelesaikan hafalan bacaan shalat walaupun tidak bersama umi. Karena umi akan pergi jauh. Begitu juga dengan kakaknya. “Selamat tinggal ya Delisa. Kamu harus jadi anak yang baik. Kamu harus terus menyelesaikan hafalannya. Kamu pasti bisa”. Begitu kurang lebih pesan kepada Delisa. Namun Delisa belum bisa memahami itu semua. Ia masih anak kecil. Ia pun bahkan belum sadar. Di alam bawah sadarnya, ia kemudian berteriak dan menangis sembari mengatakan, “Mengapa semua orang pergi meninggalkan Delisa.  Apa salah Delisa. Mereka sudah ga sayang sama Delisa. Umi juga mau pergi. Umi sudah ga saying ya sama Delisa”. Begitulah kira-kira sikap “protes” Delisa. Delisa masih berada dalam bencana tsunami. Ia masih belum sadar. Dan ia kehilangan sebagian besar keluarga dan sahabatnya.

Dan akhirnya… setelah bantuan datang dari segala penjuru dunia, Delisa ditemukan ditengah-tengah bangunan. Ia masih bernafas. Jantungnya masih berdetak. Ia masih hidup. Ia kemudian dibawa ke posko pengobatan. Delisa kemudian dirawat oleh seorang relawan yang baru saja kehilangan anak perempuannya. Dan juga seorang suster yang baik hati. Bagaimana kelanjutan ceritanya? Siapa saja yang masih hidup? Apakah ia bertemu dengan abinya yang pada saat kejadian tengah tidak berada di rumah? Bagaimana ia melanjutkan kehidupannya? Masihkan ia kemudian melanjutkan hafalan bacaan shalatnya?  Bagi yang belum menonton, mari segera nonton. Selamat menonton….!!


Responses

  1. kenapa nggak di terusin ceritanya

  2. Azik film’e

  3. bagus………………………………..buat q nangis…………………..

    • ya…….ya…….ya………..

      • heehee… iya terimakasiiih sudah mengunjungi blog ini…

  4. Ceritanya bagus, tapi lebih baik diteruskan lagi sampai tuntas karena masih ada orang yang belum tau tentang film ini.

    • iy baik kakak terimakasih. terimakasih sudah mengunjungi dan membaca blog saya…


Leave a reply to ARI Cancel reply

Categories