Posted by: alimtiaz | February 25, 2014

Perjalananku bukan perjalananmu, perjalananku perjalananmu

Perjalananku bukan perjalananmu, perjalananku perjalananmu…
(oleh Z.A)

Sebuah novel tentang perjalanan, pengalaman, pengembaraan seorang mahasiswa salah satu universitas di Beijing China, Tsinghua. Ia memilih keluar dari zona aman dan simpel dalam kehidupan. Baginya menjadi insinyur komputer adalah sangat membosankan, menghabiskan hari di depan kotak mesin dan monitor. Dan merupakan hal yang memuakkan jika harus berjuang berjalan di atas jempatan kayu yang rapuh, hanya demi tepian yang tak jelas. Kehidupan baginya tak harus mengikuti pola yang sama, lahir-belajar-bekerja-cari-uang-sampai-mati.
Titik Nol, sebuah novel karya traveler/backpacker Agustinus Wibowo. Mengaku sebagai sarjana pengangguran, memiliki ambisi untuk melakukan perjalanan akbar yang akan dikenal sepanjang hidupnya. Nekad, berani dan bahkan ada yang mengatakan ini adalah pilihan gila. Dengan bermodalkan hanya dua ribu dolar berangan-angan menuju Capetown di Afrika Selatan, karena itulah titik terjauh jika melalui darat dari Beijing China, berjalan dilakukan seorang diri. Novel ini ditulis berdasarkan pengalamannya melintasi beberapa negara di Asia mulai dari China, melewati daerah Tibet, India, Pakistan dan Afganistan melalui perjalanan darat. Tak banyak menceritakan pengalaman pribadinya atau ragam pencapaiannya, tetapi ia lebih banyak bercerita ragam wilayah, tradisi, dan orang-orang yang meningalkan kesan mendalam sepanjang perjalanan. Agustinus berhasil membawa pembaca seakan ikut merasakan, mengalami berbagai kesulitan, melihat dan mengamati setiap peristiwa selama perjalanan, rasa keterasingan, bahaya, takut, letih, marah dan sedih yang teramat dalam disamping banyak pengalaman tentang kehidupan yang tak ternilai harganya.
Petualangan melintasi jalur sutra, sebuah rute musafir dari zaman berabad silam yang membaur dengan berbagai kebudayaan Timur dan Barat,membangkitkan imajinasi dan romantisme. Petualang yang membayangkan barisan karavan unta yang melintasi gunung gersang, atau hadangan perompak ditengah kengerian malam, fatamorgana oasis dan barisan pegunungan sampai kubah-kubah megah masjid dan makam dengan biru lazuardi dari dongengan Arabia. Permadani terbang.. harta karun yang tersembunyi… putri nan cantik jelita dan pangeran rupawan… petualangan dimulai…
Sosok lelaki kurus, kecil dengan digayuti oleh ransel setinggi kepalanya, tas plastik di tangan berisi botol minuman dan mie instan terpingkal-pinkal mengejar kereta yang siap meluncur tanpa basa-basi untuk menunggu. Kereta yang penuh sesak di negeri terpadat di muka bumi. Satu stasiun kereta api di Beijing bisa mengangkut sampai satu juta penumpang dalam sehari, penumpang dijejalkan ke dalam setiap sudut kereta dari korodor sampai toilet, untuk berdiri pun sudah tidak ada. Butuh sedikit kecerdikan dan kengototan luar biasa untuk mencari ruang kosong di tengah buntelan tas dan manusia. Perjalanan perdana melewati tiga ribu tujuh ratus enam puluh delapan kilo meter tanpa henti untuk sampai ke Umruqi, hampir tak ada kesempatan berdiri untuk meluruskan kaki. Begitulah baginya ujian pertama dalam perjalanan (safarnama) adalah kesabaran…
Kashgar, tiga puluh satu jam empat puluh empat menit memakai kereta dari Umruqi. Adalah kota yang disebut sebagai jantung kebudayaan Uyghur (masih daerah Xinjiang), dikenal dengan bazar hari minggu dan masjid-masjid kunonya. Orang-orang Uyghur ini rata-rata menjadi pencuri, pencopet. Menjadi daerah yang liar, sangat bahaya dan bergejolak, bom bisa meledak kapan saja. Tapi dibalik itu Uyghur juga memiliki eksotisme, perempuan-perempuannya lihai menari dan bernyanyi, apalgi wajah mereka bak orang eropa yang diakui kerupawanan-nya di seluruh China. perjalanan menuju Tibet….
Tibet, sejak berabad-abad sebagai ‘tanah suci’ di atap dunia, negeri terlarang yang selalu tertutup dunia luar. Ini adalah daerah ‘incaran’ pertamanya. Karena tidak gampang untuk memasuki wilayah ini. Agustinus yang kebetulan seorang keturunan China, memanfaatkan wajah Mongoloidnya untuk bisa menjelajah di daerah Tibet. Tak jarang terkadang ia merubah identitas sebagai Agustinus seorang warga asing, dan terkadang menjadi Xiao Weng untuk selamat dari pemeriksaan tentara dan polisi China. Perjalan yang melewati kabut tebal, gersang, angin berembus kencang membawa bulir-bulir debu. Alam ini sudah nyaris bukan alam manusia, lebih mirip dengan planet Mars, melewati gunung dan lembah. Kudi, Chiragsaldi, Mazar, saidula, Kirgizjangal, Shansili adalah nama-nama antik nan eksotik tapi tidak simpatik, berada pada ketinggian lebih dari 4.500 meter, bukanlah habitat manusia normal memang. Dan lebih berbahaya lagi ketika harus melewati Parit Orang Mati, dikisahkan bahwa tempat ini sering terjadi kematian yang misterius.
Gunung suci Kailash, puncaknya yang ditudungi salju tebal laksana mahkota. Gunung ini begitu suci, kita manusia hanya boleh menatap, tak boleh menyentuhnya. Saking keramatnya tak ada manusia yang mendakinya, apalagi menginjakkan kaki di atas puncaknya. Orang-orang Tibet beribadah hanya dengan mengelilinginya yang disebut dengan kora, kegiatan ini untuk penghapusan dosa sepanjang hayat. Dan mengelilinginya seratus delapan kali adalah jalan menuju nirwana. Orang China menyebutnya sebagai Shenshan (gunung dewa), orang Budha Tibet menyebutnya kang Rinpoche yang berarti ‘mustika agung dari tanah salju’, tempat bertahtanya Budha Sakyamuni, Kailash adalah poros dunia, pusat semesta, tanah suci agama-agama. Sedang bagi umat Hindu, gunung ini adalah singasana Dewa Syiwa bersama istrinya Parwati, putri dari dewa pegunungan Himalaya. Kailash juga merupakan sumber dari sungai-sungai agung: Gangga, Brahmaputra, Indus, Sutlej. Hanya para pemberani dan orang suci yang berani mencari sumbernya.
Lintasan ziarah di gunung Kailash ini sepanjang lima puluh empat kilo meter, mendaki celah gunung sampai ketinggian 5.600 meter. Banyak penziarah Hindu India merenggang nyawa, dan ini adalah rahmat tak terkira bagi mereka jika meninggal di tempt sesuci ini. Bagi orang Tibet, ziarah memiliki arti yang ekstrem. Mereka bukan lagi jalan kaki tetapi merayap, bersimpuh pada lutut, sekujur tubuh terlungkup dan dahi menempel di tanah. Tubuh berlahan-lahan di angkat, berdiri maju selangkah, komat-kamit membaca doa, mengatupkan telapak tangan, lalu kembali tengkurap di tanah, begitu seterusnya melintasi padang, bebatuan, bahkan menyeberangi sungai dingin, luka di sekujur tubuh. Tak ada kebanggaan pasca ziarah, tak ada penginapan dan kendaraan khusus, dan tak ada gelar istimewa di depan atau pun di belakang nama, setelah ziarah mereka kembali ke kampung sebagai orang biasa. Puncak Drolma-La pada ketinggian 5.630 meter adalah titik akhir perjalanan. Bendera doa warna-warni yang berkibar mengarah ke Gunung Dewa, orang Tibet percaya, semakin tinggi tempatnya, semakin manjur pula doanya. Memang tak dapat dipungkiri, perbedaan konsep kebahagian adalah perbedaan sudut pandang, yang menjadi penyebab perbedaan memperlakukan hidup dan menjalani kehidupan…
Shangri-La, konon berada diantara pegunungan Himalaya yang tak terjamahkan, bukan surga modern yang diberinama Shangri-La … Nirwana….
Setelah menaklukkan Kailash, selanjutnya Qomolangma, Everest titik tertinggi dunia ada di sana. Everest juga sekaligus sebuah kuburan raksasa. Salah satu gunung terpenting yang juga dilewati Agustinus. Di depan kemegahan Everest, rasa letih, lelah selama perjalanan hilanglah sudah, perjalanan menyadarkannya betapa masalah yang dianggap berat selama ini ternyata teramat sepele di hadapan alam. Bahkan ada sebagian orang berfikir bodoh untuk bunuh diri hanya karena nilai ujian. Katanya dahulu kala pegunungan Himalaya pada awalnya adalah dasar lautan, berawal dari titik rendah, everest berlahan membumbung tinggi hingga ke posisinya sekarang, sebagai puncak dunia. Setiap tahun, ketinggian Everest bertambah empat milimeter. Alam pun mengalami evolusi, lautan menjadi puncak dunia, pulau-pulau tenggelam, gunung lembah, sungai, semua tiada yang abadi. Semua dalam perjalanan…..
Nepal, di Kathmandu semua orang asing hidup bersama, dan penduduk lokal sibuk menjual surga. Orang beriman dan orang sesat hidup bersama, kuil Budha dan Hindu saling berdekatan. Tak butuh banyak uang untuk bisa menikmati Shangri-La di Kathmandu. Surga Himalaya yang super murah, dengan kantong paling kempes sekalipun, karena NEPAL= Never Ending Peace And Love. Hashish dijual legal dan terbuka bahkan toko resmi pemerintah.
India, bertemu dengan sesama backpacker asal Malaysia makcik Lam Li. Begitulah cinta menembus garis batas, cinta tak sama sekali takut jarak dan waktu, cinta tak mengenal perbedaan bangsa dan warna kulit, jurang usia atau kelas manusia. Selalu saja ada hal-hal di luar batas kebiasaan, ada kekuatan yang tak terhingga. Terkadang cinta masuk menyelinap halus, tak tau awal mulanya. Itulah yang terjadi dengan Agustinus, tanpa ia sadari ternyata Lam Li yang lebih tua usianya daripada dia, ternyata sangat mempengaruhi Agustinus hingga akhir perjalanannya, sebagai inspirator, motivator, travel guru dan sumber ide yang brilian. Begitu istimewanya Lam Li, diawali pertemuan yang serba tak disengaja, dia bagaikan tangan tak terlihat yang menetukan takdir pejalanannya. Sering kali mereka berkirim email selama perjalanan. Selain Lam Li, ada cinta yang lebih dahsyat (kepadanya novel ini dipersembahkan), yaitu mamanya yang menahan sakit kanker usus hingga ajal menjemputnya. Karena cintanya inilah ia meninggalkan hasratnya untuk melanjutkan perjalanan hingga Afrika selatan setelah melewati berbagai negara di Asia, Nepal-India dengan segala kekacauan, carut marut kota berpenduduk terpadat dengan ekonomi rendah disamping eksotisme tradisinya yang memikat. Paradoks kemiskinan memang begitu akut, persaingan ditengah miliaran jiwa begitu ganas, tekanan kasta dan sosial pun seriing kali diluar batas manusiawi, tidak sedikit pula warga yang menjalani ‘hidup yang bukan hidup’. Garis kasta tidak bisa ditembus, bagaikan rantai yang membelenggu seumur hidup. Dosa dan kehormatan orangtua diturunkan pada anak-cucu. Sayangnya tak seorang pun bisa memilih lahir dari rahim ibu mana atau produk sperma ayah yang mana. Sering kali takdir menepis mimpi….
Pakistan, semua orang menyadari bahwa ada dunia yang berkontradiksi, semua orang harus tahu akan zona dan garis batas masing-masing. Segala sesuatu dipisahkan berdasarkan gender: sekolah, warung, bus hingga bank. Perempuan adalah ‘aurat’, bukan sebagian anggota badan, tetapi sekujur tubuh. Perempuan disinonimkan dengan ketelanjangan yang memalukan dan tidak boleh dipertontonkan, tidak keluar rumah kecuali dengan muhrim. Ada dunia Pakistan yang sebenarnya, kawasan prostitusi yang terkenal justru terletak di bawah masjid kuno raksasa. Heera Mandi sejak ribuan tahun tetap eksis, legendaris dan misterius. Duka perjalanan, beberapa kali ia menjadi korban pelecehan seksual, kali ini laki-laki yang menawarkan persahabatan tetapi ternyata..hahaaa.. You forget me, I forget you, OK! Kalimat terakhir dari laki-laki GeJe….:-D Hubungan sesama lelaki itu bukan seksual katany, itu Cuma pertemanan, just for fun.. hemmm…*%^$#@!?:)*>????
Afganistan, Kabul… “zinda boshi!!”, artinya “hiduplah kau slalu” ucapan salam yang begitu bermakna di Afganistan. Di negara kita, daftar nama korban kecelakaan masih bisa didaftarkan, tetapi di negeri perang, orang mati hanya sebagai angka. Tak ada nama tertinggal, tak ada sebab, tak ada bekas, mati sia-sia seongok bangkai tanpa alasan tanpa guna. Mengutip kata Joseph Stalin: ‘kematian satu orang adalah tragedi, kematian jutaan orang adalah statistik’. Perjalanan adalah cobaan bagi Agustinus. Dan baginya Afganistan adalah negara terpenting, keinginan untuk menjadi relawan kemanusiaan sekaligus jurnalis di negeri perang. “lebih baik aku jadi pelaku bom bunuh diri daripada mati sis-sia begini. Setidaknya, aku memang mati, tapi aku dapat uang untuk menghidupi ank-anak dan istriku!”, pernyataan yang mengambarkan betapa ironisnya negeri perang, Kabul.. terkadang menjadi jurnalis di negeri perang sangatlah tidak manusiawi, bom dan kematian adalah sumber pundi dan warta…
Dalam perjalanan menuju batas cakrawala, bukanlah memang harus ada waktunya untuk mempertanyakan akhir dari perjalanan ini, ujung dari pengelanaan ini? Terkadang bukan lagi saatnya menghibur diri dengan mimpi-mimpi mustahil, realita paling pahitpun harus dihadapi. Perjalanan yang sangat dinikmatinya harus berhenti, kembali ke titik awal, Indonesia.. menjaga, mengurus mamanya tercinta. Karena cinta, ketakutan, dan campuran rasa lainnya yang membuat dia harus pulang meninggalkan Kabul. Pilihan awalnya untuk mengabaikan gelar insinyur karena keinginannya untuk belajar langsung dari kehidupan, melihat dunia, membagikan kisah perjuangan umat manusia di berbagai belahan bumi lainnya kepada banyak orang. Cita-cita yang tak tergapai memang membawa penyesalan, tapi penyesalan itu justru sangat menyiksa kalau sudah menyerah sebelum kalah…
Titik NOL, lingkaran itu betapa agungnya. Noktah adalah hidup, hidup adalah noktah. Bumi adalah sebuah titik, Bulan, Matahari, planet-planet adalah titik. Kita adalah kumpulan titik yang menjadi warna-warni semesta. Titik Nol dan titik akhir adalah sama, tiada awal, tiada akhir, tanpa sudut, tanpa batas. Kita jauh melanglang sesungguhnya hanya untuk kembali. Perjuagan, cinta, perpisahan, nama besar, pangkat, kekuasaan, kekayaan semuanya akan berakhir dalam wujud yang sama: debu yang berhamburan diterpa angin. Tak ada yang terlalu penting di hadapan kuasa-Nya. Tidak pula ‘aku’.. (Titik Nol).


Leave a comment

Categories